SUKU BADUY; CICAKAL MUHARA

CICAKAL MUHARA; BADUY
TENTANG MIMPI, PERJALANAN, KEHIDUPAN, DAN BUDAYA SUKU BADUY, INDONESIA.


17 - 19 MARET 2017

   

SUKU BADUY, INDONESIA

 


·         TENTANG MIMPI



BADUY, adalah impian ke 63 yang kutulis saat memasuki awal perkuliahan 2013 dibuku mimpi.  Ketika semasa kuliah hanya diberi kesempatan tiga kali KKL (Kuliah Kerja Lapangan) saja yang kebetulan tidak ditempatkan disana (Kuningan. Brebes, dan Pangandaran). Namun ternyata, Allah mempunyai rencana lain yang lebih hebat, mempermudah impian, mendatangkan dengan sendirinya. Jauh lebih baik.



Walaupun memang apa yang kita raih saat ini tidak akan lepas dari usaha dan kerja keras yang kita lakukan semasa sebelumnya. Tiga kali KKL, Satu kali KKN selalu menjabat menjadi sekretaris dan ketua, memberikan banyak pengalaman yang begitu luar biasa hebatnya. Baik itu pengalaman dalam suatu kelompok ataupun pengalaman dalam bersosial dan bermasyrakat.



Dan di KKL yang ke-4 ini, aku mendapatkan kembali satu pengalaman yang berbeda dengan pengalaman kuliah lapangan sebelumnya. Menjadi pembimbing adik-adik angkatan yang sama-sama sepertiku menjalani KKL sebanyak  tiga kali. Meskipun bagiku sebenarnya, KKL bonus yang ke 4 ini merupakan wadah diriku untuk sama-sama belajar mencari tahu, penasaran dengan apa yang selalu aku ekspektasikan mengenai Baduy selama ini. Dan hasilnya, Baduy tak akan pernah mengecewakan walau banyak keterbatasan dan sangat banyak perbedaan dengan masyarakat Sunda umumnya. Justru hal tersebut yang khususnya aku cari.


Tidak ada yang sia-sia akan haus ilmu, tidak akan sia-sia lelahmu hari ini, dan tidak ada yang sia-sia ketika kamu bermimpi tinggi. Karena, kalau kita percaya, yang tak akan berkhianat salah satunya adalah mimpi.



Selamat membaca kisah perjalanan tentang mimpiku:)



·         KISAH PERJALANAN MENUJU BADUY, CICAKAL MUHARA.



CICAKAL MUHARA, adalah salah satu tempat tinggalku dengan teman-teman selama 3 hari 2 malam di Baduy. Memiliki jarak tempuh sekitar 4 – 5 KM tentunya dengan rute perjalanan naik turun bukit dan melewati hutan-hutan dengan sungai mengalir dipinggirnya.




Selama diperjalanan, rasa lelah yang ada tergantikan dengan pemandangan alam serta bau tanah Baduy yang begitu khas. Jujur, aku baru merasakan bau tanah seharum itu. Pikirku mungkin ini adalah bau tanah alami dicampur bau bunga-bunga durian yang berguguran karena memang sepanjang perjalanan pohon durian berbaris seolah menyambut kedatangan kami. Hihii.




Jalanan tanah Baduy begitu rapih, batu-batu koral yang tersimpan ditanah serta rumput-rumput dan tumbuhan-tumbuhan liar membuat suatu bangunan alam raya menghijaukan sekitaran mata memandang. AH indahnya. Sejuk, damai, tenang. Alam memang tak akan pernah habis memberikan kebaikan.






Selama di Baduy aku menemukan banyak hal-hal yang baru yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Hidup tanpa listrik, tanpa sinyal, tanpa wc, tanpa terus-terusan setiap waktu memegang handphone. Jauh dari rutinitas dan keramaian kota. Hari-harinya adalah keheningan serta suara-suara warga dan sungai yang menjadi sumber rutinitas dalam mengatasi masalah “keperutan (re:mules)”. Jadi untuk masyarakat umum yang begitu sangat manja seperti kita memang harus bisa mengkuatkan tekad untuk secepatnya biasa beradaftasi dengan lingkungan tersebut. Karena kalau tidak begitu, kita akan kewalahan sendiri mengatasi masalah kebiasaan diri.


Sungai panjang mengalir jernih. Sungai paling atas ada yang mandi, ditengah anak-anak ada yang berenang-renang, bergelantungan dari dahan pohon menyeburkan diri ke sungai, paling bawah sungai ada yang berjongkok dibalik batu. Mereka melakukan semuanya dengan biasa. Dan aku menyadari bahwa kebiasaan atau habitus memang terjadi karena mereka sama-sama melakukan hal yang sama, karena keadaan, karena persamaan. Perbedaan bukanlah sesuatu yang “aneh”, persepsi diri kitalah yang menentukan hal tersebut.



CICAKAL MUHARA, bukanlah salah satu tempat Baduy yang begitu jauh meskipun jarak tempuh dari Desa Kanekes (Bisa dikatakan pintu gerbang Suku Baduy) berjarak sekitar 4 – 5 KM. Baduy yang terbagi menjadi 2 yaitu Baduy Luar dan Baduy Dalam memiliki jarak sekitar +13KM untuk menuju Baduy Dalam dengan rute yang menanjak terus. Malah, ada satu tanjakan yang berjarak 1KM yang warga sana menyebutnya dengan Tanjakan Cinta.  Sooooo, buat kalian yang ingin pergi kesana terutama ke Baduy dalam kalian harus mempersiapkan stamina yang begitu kuatnya (?)

Masyarakat Baduy pun memiliki badan yang bagus dan sangat tegap. Jangankan para pemuda sana, orang tua yang sudah berumur pun walaupun sudah kelihatan renta ia tetap memiliki tulang yang kuat dan kulitnya yang keras (tidak lembek), anak-anak kecil yang sekitaran umur 2 atau 3 tahunan pun menaiki tangga-tangga sana tidak kelihatan ngos-ngosan dan tidak memegang atau menekuk lututnya menandakan kecapean. Dengan santainya ia berjalan tanpa alas kaki menaiki tangga-tangga yang sudah dilapisi batu-batu rapih.



Bahkan yang lebih “mencengangkan” lagi (lebay banget ya mendeskripsikannya) suku Baduy terutama Baduy Dalam jika melakukan perjalanan jauh seperti pergi Ke Bandung atau Jakarta mereka cuma menghabiskan waktu selama 2 atau 3 hari dengan berjalan kaki untuk sampai kesana. Itu juga tanpa menggunakan alas kaki. DAEBAKKK!!!
Masyarakat Baduy sangat menjungjung tinggi terhadap ALAM. Menjaga dan merawat alamnya. Makanya sampai sekarang Baduy memiliki keaslian dan super natural alamnya. Iyaps, semakin dalam semakin jauh, semakin jauh perjalanannya semakin seru kisahnya. Walau begitu, untuk Cicakal Muhara, aku sangat berterimakasih untuk alamnya, untuk kebebasannya, dan untuk pelajaran dan pengalaman baru yang baru aku temukan hanya disini, di Baduy.
  


·         KEHIDUPAN DAN BUDAYA SUKU BADUY



MENJELASKAN hal ini tentunya sangat buanyaaak. Banyak buku-buku dan artikel khusus Baduy sudah dijelaskan oleh para budayawan hebat di Indonesia. Namun kali ini aku hanya ingin menceritakan dasar kehidupan dan budaya Suku Baduy yang tentunya berbeda dengan Suku Sunda pada umumnya.

Kehidupan masyarakat Baduy kebanyakan menghabiskan waktunya bersama alam, hal tersebut bisa dikatakan sebagai ilmu beritual. Anak-anak dari kecil harus diajarkan oleh orang tuanya untuk bisa menjaga alam. Hal tersebut memang terbukti dari hal kecil yang selalu menjadi masalah “manusia kota” seperti buang sampah. Masyarakat Baduy memiliki sejenis karung atau tempat sampah disetiap masing-masing bilik rumahnya. Halaman rumahnya pun begitu bersih dan tidak ada sampah-sampah plastik berserakan dimana-mana. Untuk ini anak-anak kecil di Baduy sudah diajak pergi ke huma (ladang) oleh orang tuanya agar mereka bisa beritual.

Karena anak-anak disana tidak mengenyam bangku pendidikan, anak laki-laki setiap pagi pergi ke ladang atau pergi mencari kayu bakar, sedangkan anak perempuan selain pergi bersama orang tuanya ke ladang, mereka jua diharuskan belajar menenun. Banyak sekali anak-anak perempuan yang saya temui di Baduy sedang melakukan proses menenun. Kagum, sudah pasti.



Bila malam tiba dan sore harinya warga sudah mulai pulang dari ladang. Mereka biasanya mengobrol disalah satu rumah warga. Biasanya pun mereka selalu “ngaliwet”, makan bersama-sama.
Pos ronda pun berlaku di masyarakat Baduy, biasanya mereka menggunakan tontrong atau yang disebut masyarakat Sunda umum sebagai kohkol untuk menandakan bahwa di desa mereka sedang ada yang ronda. Biasanya ronda dilakukan di rumah tokoh. Mnegobrol, Ngaliwet, dan juga merokok, atau ngopi. Walau yang selama aku perhatikan masyarakat Baduy tidak terlalu menyukai kopi dan rokok.

Pemuda – Pemudi Baduy yang terkenal dengan kecantikan dan ketampanan naturalnya memang bukan hoak belaka. Hal itu asli terbukti, makanya jaga matanya kalo kita sampai kesana. Fatal akibatnya jika kita tertarik terlalu dalam karena jika orang Baduy tersebut sama saling dekat kalian bisa langsung dinikahkan dan jika tidak bisa saja orang Baduy tersebut sudah menikah. Hihi.
Banyak sekali pemuda-pemudi Baduy yang aku temui sudah menikah diusianya yang masih terbilang muda. Usia 20 tahun sudah mempunyai anak 1, usia 25 tahun sudah mempunyai anak 3, perempuan menikah diusia 15 tahun sudah menjadi hal yang biasa. Woww...



Jika warga Baduy tinggal di Luar Baduy hal tersebut harus disahkan oleh para puun (tokoh adat Suku Baduy). Dan jika orang Baduy yang tadi keluar dari Baduy namun ingin kembali tinggal di Baduy ia juga harus melewati seleksi ritual yang dilakukan oleh para puun yaitu salah satunya mandi kembang 7 rupa.

Jika orang Baduy menikahi orang Luar baduy, itu berarti ia harus meninggalkan suku Baduy, meinggalkan tradisi dan adat yang dianut Suku Baduy namun status dalam keluarganya asalnya masih tetap dianggap keluarga.
Banyak pula yang sudah merantau keluar Baduy, namun mereka tetap kembali ke Baduy dengan alasan lebih tenang dan lebih nyaman tinggal di Baduy ketimbang diperkotaan besar. Seperti salah satunya, Kang Ako yang mempunyai nama asli Sarka ia  merupakan guide kelompok saya selama ada di Baduy. Seumuran dengan saya kelahiran 1996 namun ia sudah memiliki 1 anak, ia pernah merantau ke Jakarta untuk bekerja. Biasanya mereka bekerja ditempatkan di konveksi. Atau jika tidak mereka ke kota untuk mencari kain dan benang untuk dijadikan sebaga bahan menenun.

Baduy luar memang sudah mengenal modernisasi, hal tersebut terlihat dari beberapa ciri yang saya lihat disana, seperti sudah mengenal dengan adanyanya alat teknologi terutama handphone, terkadang menggunakan pakaian adat dan terkadang pula memakai pakaian modern seperti kaos dan jins, menggunakan alas kaki, menggunakan alat dan bantuan rumah tangga modern karena memang Baduy dalam tidak memberlakukannya. Pun masyarakat Baduy memiliki ciri khas berpakaian dengan warna hitam dan putih juga iket dikepalanya. Masyarakat Baduy Dalam biasanya sering menggunakan pakaian dan iketnya yang khas berwarna putih.



Penjelasan ini hanya memungkinkan 1% gambaran mengenai kehidupan Suku Baduy, selebihnya kalian bisa baca lebih lengkap di artikel dan buku-buku yang berkaitan dengan Suku Baduy. Dan jika ingin lebih tahunya lagi kalian bisa berkunjung ke Suku Baduy. Katanya ada tiket masuk Suku Baduy dengan harga RP. 2.500 saja. Temukan pengalaman yang tidak akan terlupakan disana.



Di Baduy aku menemukan penuh harta karun. Bukan emas intan permata, tetapi kekayaan pikiran masa lampau masyarakat Sunda. Kekayaan budaya dan kehidupan masyarakat yang begitu sederhana  juga sebuah keluarga dan cerita yang tak akan pernah bisa terlupa.











BANDUNG, 21 MARET 2017
RAHMIA KHOERUNNISA


Comments