Pidangan Rumawat Padjadjaran "Ti Cisayong ka Cisayong" Wahyu Wibisana
“Ti Cisayong ka Cisayong”
“Harita
waktu layon geu digotong
ema inget ieuh kana tanjung
dikalungkeun na pasaran
kembang asih panganggeusan ti duaan”
(Wahyu Wibisana, Kembang Tanjung Panineungan)
Kamis, 06
November 2014 UNPAD menggelar Pidangan Rumawat Padjadjaran ke-73 yang berjudul
“ Ti Cisayong ka Cisayong Gelar Tineung Karya Wahyu Wibisana” . Acara ini diselenggarakan untuk mengenang
sosok Wahyu Wibisana yang meninggal Senin dinihari 13 Oktober 2014 lalu. Wahyu
Wibisana merupakan seorang sastrawan Sunda yang lahir di Cisayong, Tasikmalaya
tanggal 19 Januari 1935. Begitu banyak karya-karya Wahyu Wibisana, diantaranya Dua Utusan (1956), Wangsit Siliwangi
(1964), Tonggérét Banén (1967), Mundinglaya di Kusumah (1975), Geber-Geber
Hihid Aing (1976), Tukang Asahan (1978), Urang Naon di Cinaon (Kumpulan
Sajak-1992), Riring-Riring Ciawaking (Kumpulan Dangding, 1999), Anaking Jimat
Awaking (Kumpulan Prosa Lirik, 2002).
Wahyu Wibisana
gemar mempunyai pendapat yang berbeda dengan orang lain, hal inilah yang
menjadi sifat khasnya yaitu pasea (beradu argument), menurutnya hidup
itu perlu memiliki musuh, karena jika semua orang adalah teman kita akan susah
untuk berfikir serta akan hidup membosankan, pikiran tidak akan terbangunkan,
dan kaku seperti cingcau.
Dalam hal ini
Wahyu Wibisana bisa saja menganut aliran atau teori konflik yang memandang
bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai
yang membawa perubahan. Tetapi, terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan
kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula serta teori konflik
ini memiliki landasan pikir yang berbeda dengan teori harmoni dalam struktur
fungsional Tapi, walaupun begitu akhir dalam konflik tersebut tetap memandang
keseimbangan baru.
Pendapat
tentang pentingnya pasea juga telah terlihat dalam naskah sandiwara Wahyu
Wibisana sendiri yang berjudul “tukang asahan”
yang juga dipentaskan dalam Pidangan Rumawat Padjadjaran yang dibawakan
oleh Teater Sunda Kiwari. Dalam naskah tersebut si kabayan bercerita bahwa “pasea teh mangrupakeun kasenian sabab dina
pasea urang kudu ngadu argumentasi anu bisa di pertanggungjawabkeun kalayan
ilmiah” (pasea merupakan seni
karena dalam pasea kita beradu argumentasi
yang harus bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah).
Dalam pagelaran yang di gelar di Graha
Sanusi (Aula) Unpad ini mementaskan
beberapa karya-karya Wahyu Wibisana yang dipentaskan oleh sastrawan dan seniman
sunda lainnya seperti sajak Wahyu Wibisana yang berjudul Bungur Jalan ka Cianjur yang dinyanyikan oleh
Ida Rosida dan GJ Setra, disambung dengan sajak Di Langit Bandung Bulan keur
Mayung, Tukang Asahan yag dipentaskan oleh Teater Sunda Kiwari, Carpon aki
warung yang dibacakan oleh Hyelin Samsuri, dan Angkrek Japati. Dalam Pidangan
Rumawat Padjadjaran yang dijuru bicarai oleh Rektor Unpad, Bapak Ganjar Kurnia
ini diakhiri dengan nyanyian “Ti Cisayong ka Cisayong” serta memanjatkan doa
untuk Wahyu Wibisana.
“Hariring
éling ku éling,
kana
tanjung nu dipulung
kembang nu nyeungitan pakarangan,
nu nyeungitan haté urang panineungan”
Comments
Post a Comment