TRAVELING; SAVANNA IN JAVA




Medustai diri dengan rutinitas yang tidak kau sukai sama saja dengan sukseskan sendu setiap saatmu.






Makannya, aku dadakan untuk pergi keluar dari Bandung, karena penat dan mumetnya pikiran yang aku alami serta patah hatinya aku waktu itu. Tanpa mengabari siapa-siapa, termasuk seseorang paling terdekatku di Bandung aku pergi nekat sore-sore ke sebuah tempat paling nyaman untuk kembali. Aku butuh kesunyian.



Ada pengalaman yang aku dapatkan saat aku pergi kemarin. Aku dapatkan sisi lain dari kehidupan orang terminal. Sisi lain dari sikap para supir mini bus (elf) yang memang terkadang mohon maaf sudah terpandang negatif.

Magrib itu, untuk sampai ke tempat yang dituju, membutuhkan sekitar 3 jam lagi. Sedngkan diperjalanan itu melewati sebuah kota dimana kota tersebut memiliki jalan yang rawan kecelakaan, angker, gelap, tidak ada penerangan, dan sangat tidak disarankan untuk melewati jalan itu ketika malam.

Orang tuaku pun melarang untuk melanjutkan perjalanan karena khawatir dengan apa yang akan terjadi diperjalanan nanti hingga mereka menyuruhku untuk menginap di salah satu saudara yang kebetulan saat itu aku memang berhenti di terminal dan aku emmiliki saudara di tempat itu.

Awalnya aku memang sempat ditawari untuk melanjutkan perjalalanan, si supir akan bertanggung jawab untuk mengantarkanku dan menitipkanku pada supir yang menuju tempat yang kumaksud. Awalnya aku iyakan, kemudian datang lagi supir elf lain yang kebetulan mobilnya menuju tempat tujuanku. Ia melihatku dari ujung kaki sampai bawah dan menawariku untuk menaiki mobil umumnya miliknya. Ku tolak karena kesan pertamaku sudah berfikir “aneh”. 



Aku pun keluar dari mobil awal yang kutumpangi, berniat mencari tumpangan untuk mengisi daya di hpku karena kebetulan hp utamaku baterainya sudah habis, menyulitkanku untuk berkomunikasi dengan keluarga dan sulit berjaga-jaga takut ada apa-apa.

Sedang diluar aku ditemui lagi oleh supir yang menawariku tadi, ia berbicara padaku mengajaku untuk ikut menaiki mobilnya kembali, tapi memang tidak memaksa. NAMUN, aku perlahan-lahan menghindar darinya karena serius dia ngobrol terhadapku tapi sambil menggaruk-garuk *maaf* “bagiannya”. Kaget dan serius merasa “jijik” tanpa memperlihatkan respon ketakutan campur kejijianku, aku perlahan menjauh darinya dan langsung tanpa pikir panjang lagi untuk tidak meneruskan perjalalananku.




Aku pun menghampiri supir elfku yang pertama, memberitahu bahwa aku tak akan meneruskan perjalananku dan aku akan menginap disaudaraku disini emskipun memang saat itu aku tidak mengetahui ia ada didaerah mana, yang ku tahu hanya patokannya yaitu dekat salahs atu mall terkenal ditempat tersebut.

Singkat cerita, saat magrib di daerah tersebut sudah tidak ada angkot berlalu-lalang, untuk memesan lewat ojol pun baterai hp mati ditambah aku memang tidak tahu tujuan tempatku kemana. Tetapi baiknya si supi elf pertama itu, ia bertanggung jawab menyuruh seseorang yang sudah ia kenal untuk mengantarkanku sampai terminal saja (karena waktu itu mobil elf berhenti sedikit jauhd ari terminal).

Awalnya sempat ragu dan takut tapi melihat gelagat si aa-nya (orang yang mengantarkanku masih muda dan terlihat orang baik *dari penampilan) aku pun mengiyakan karena ditengah kondisiku saat itu yang masih terlantar. Ia mengantarkanku menuju terminal, tetapi setelah diterminal ia bertanya padaku mending diantar sampai tujuan saja, dan aku pun bilang iya dan sempat mau kubayar.

Selama perjalanan ia bertanya dan aku pun mengingat tempat rumah saudaraku, hingga akhirnya aku tiba disebuah gapura yang memang ku kenal. Sungguh luar biasa baik si aa-nya, dia mencoba meyakinkan aku dan akan mengantarkanku sampai aku sampai benar ada diempat tujuan.
“Dari pada nanti terlantar dan kenapa-kenapa kasian tetehnya” Tuturnya.
Tapi alhamdulllah, ternyata gapura itu memang benar jalan menuju rumah saudaraku. Hingga akhirnya tanpa tahu nama dan menolak untuk dibayar, dia telah baik menyelamatkanku dari ketelantaran. Ah terimakasi ya A yang tidak aku tahu namanya.

Lanjut, esok harinya aku melanjutkan perjalanan.

HARI PERTAMA







Aku duduk disebuah batu besar dengan hamparan sawah yang habis ditanam (tandur). Begitu luas. Sejauh mata memandang sekeliling hanyalah gunung dan perbukitan. Asap-asap oksigen sore hari terlihat sedikit ttansparan, suara gema lantunan shalawat dan Al-Quran menemani suara ricuh hatiku yang aku tuangkan dalam sebuah buku catatan.
Disini, banyak kutemukan bunga-bunga liar yang hidup dijalanan. Indah walau ia telah gugur.







Lumayan lama berinteraksi sendiri dengan kata hati dan juga sepoynya angin sebuah desa, aku berjalan-jalan untuk mencari ujung dari hamparan sawah ini. Jalan yang begitu kecil banyak anak-anak yang “ngabuburit” diatas batu besar. Ah indahnya masa kalian. Ada juga sekumpulan anak laki-laki yang sedang mencari belut. Mereka aku hampiri tapi ada yang diam ada yang langsung perlahan pergi karena dihampiri tiba-tiba oleh perempuan aneh sepertiku yang berkeliling mengikuti arah jalan sawah (galengan).




Sebentar aku berbincang dengan mereka, melihat mereka melakukan “ngurek” (mencari belut), sedikit dapat pelajaran bahwa aku menemukan perbedaan cara menghabiskan  sore hari ketika bulan Ramadhan bagi anak-anak di desa dan anak-anak di kota.
Dikota sore hari kita sibuk mencari tempat ngabuburit, melakukan swa foto, dan sibuk membicarakn itu ini kadang bicarakan orang yang tak faedah malah membuat dosa. Sedang di desa, anak-anak bercanda, sekali-kali mereka ikut hening berbicara dengan kata hati mereka atau fokus pada pekerjaan mereka yang mana kuyakin mereka punya kesenangan sendiri akan melakukan kegiatan tersebut.

Sore hari itu, aku melanjutkan perjalanan sunyiku. Kemudian duduk melamun ditengah hamparan sawah pada tanah tanpa beralaskan. Hanya tanah, dan rumput kecil dengan pemandangan pegunungan yang tanpa batas. Dan magribnya, aku kembali.


HARI KEDUA.


Menuju tempat baru, dan belum pernah kuinjak sama sekali. Nekat pergi mencari jalan untuk kembali pulang. Tapi, ketersesatan dan kesoktahuan jalan-jalan ini mengantarkanku pada sebuah Sabana di Jawa.

Hamparan tanah kering dimana terdapat sisa-sisa ladang jagung, jalannya berwarna putih karena pasir pantai, banyak kawanan sapi yang mencari makanan. Sisi lain jalan adalah hamparan tanah kering tak berpohon dan sisi lain adalah hamparan laut dengan batasnya langit yang berwarna biru.

Disebuah pantainya, terdapat ayunan. Sejauh mata memandang lautnya berwarna hijau toska. Pesisir pantainya banyak nelayan mereka memancing ikan.
Aku bertanya; “ko bisa mereka mendapatkan ikan dari memancing yang mana airnya bergerak karena ada ombak?”

Dan ada satu pertanyaan lagi untuk diriku sendiri “masih mau mengeluh akan pekerjaan kamu? Mereka tidak ada tanggal merah, tidak ada upah, tidak bekerja teduh dan ber-AC sepertimu, tidak ada jam kerja, tidak ada yang menjamin mereka, nyawa mereka jadi taruhannya. Kalau kau? Masih tetap mengeluh?”























HARI KETIGA






Terakhir, aku menikmati aruni. Matahari terbit dari belakang pegunungan, tidak ada yang menghalangi. Pohon-pohon berada dikerumunannya, tidak ada gedung tinggi. Hanya kabut, matahari, dan hangatnya pagi kala itu.


kemudian,




Aku berjalan disekitar pesawahan menuju sebuah gubuk ditengah sawah. Pemandangannya adalah pegunungan beserta matahari pagi, rumah sederhana penduduk dengan segala aktivitasnya. Ku biarkan bertelanjang kaki, dengan rok sebatas dibawah lutut. Kubiarkan ia liar dicumbu embun embun pagi, terkena nyenyatnya dingin nan sejuk air pesawahan yang murni dingin karena alamnya.


HARI KEEMPAT.
Kembali pergi, kembali penat. Kembali...

Bandung, 31 Mei - 03 Juni 2018 

Comments